Apakah Lumpy Skin Disease Bersifat Zoonosis ?


PanganNews.id Jakarta - Oleh Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Medik Veteriner Ahli Utama, Direktorat Kesehatan Hewan

Lumpy Skin Disease (LSD) adalah penyakit kulit berbenjol pada hewan ternak yang disebabkan oleh infeksi poxvirus (virus cacar) yang disebut Lumpy Skin Disease Virus (LSDV). Virus ini umumnya menyerang hewan sapi dan kerbau. Ciri khas gejala penyakit ini adalah benjolan-benjolan keras pada kulit hewan ternak terinfeksi pada hampir seluruh tubuhnya, dan dapat menimbulkan kematian. Masa inkubasi LSD berkisar 1-4 minggu. Penyakit ini menunjukan angka mortalitas (menyebabkan kematian) dibawah 10%, sedangkan angka morbiditas (menimbulkan penularan) 5 - 45%.

Gejala klinis LSD pada hewan dipengaruhi oleh umur, ras dan dwelling imun hewan. Tanda klinis utama LSD timbulnya lesi kulit berupa benjolan (nodul) berukuran 1-7 cm yang biasanya ditemukan pada daerah leher, kepala, kaki, ekor dan ambing. Pada kasus berat nodul-nodul ini dapat ditemukan di hampir seluruh bagian tubuh. Munculnya nodul ini biasanya diawali dengan demam hingga lebih dari 40,5oC. Nodul pada kulit tersebut jika dibiarkan akan menjadi luka dan borok. Tanda klinis lainnya yaitu lemah, adanya leleran hidung dan mata, pembengkakan kelenjar getah bening serta dapat terjadi oedema pada kaki. Selain itu, LSD juga dapat meyebabkan keguguran, penurunan produksi susu pada sapi perah, infertilitas dan demam berkepanjangan.

Dampak kerugian ekonomi LSD sangat signifikan karena penyakit ini dapat mengancam perdagangan internasional dan dapat digunakan sebagai agen bioterorisme ekonomi. Potensi kerugian ekonomi dari serangan wabah LSD cukup besar karena terganggunya perdagangan ternak dan produk ternak serta timbulnya biaya besar untuk pengendalian dan pemberantasan penyakit.

LSD pertama kali dilaporkan di Zambia, Afrika pada tahun 1929 dan terus menyebar di benua Afrika, Eropa dan Asia. Pada tahun 2019, LSD dilaporkan di China dan India lalu setahun kemudian dilaporkan di Nepal, Myanmar dan Vietnam. Pada tahun 2021, LSD telah dilaporkan di Thailand, Kamboja dan Malaysia. Pada 7 Februari 2022 penyakit ini masuk pertama kali ke Indonesia menyerang sapi di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Palalawan, dan Siak, Provinsi Riau. Pada 2 Maret 2022 wabah penyakit ini telah dilaporkan ke Organiasasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Meskipun Organsasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) belum menyatakan bahwa LSD sebagai zoonosis (bisa menular ke manusia) namun terdapat satu publikasi penelitian di Mesir yang melaporkan terdapat bukti penyakit LSD pada manusia. Pada tahun 2019 peneliti dari Mesir, Samia Ahmed Kamal melaporkan penelitiannya yang berjudul Comparative studies on lumpy skin disease virus in domain, dipublikasikan bulan Desember 2019 pada Medical and Clinical Archives Volume 03, Edisi 04, ISSN Online: 2515-1053. Berdasarkan penelitiannya virus LSD menunjukkan sifat zoonosis, dapat ditularkan dari hewan ke manusia.

Gejala klinis pada manusia yang ditemukan di Mesir oleh peneliti tersebut tampak gejala pertama kelelahan, penurunan berat badan, demam dan gatal-gatal di bagian kulit yang akan mengeluarkan benjolan, beberapa kasus menunjukkan lesi sebelum munculnya benjolan kulit, benjolan ini unik dan tidak pernah menyerupai abses. LSD sangat berbahaya jika menyerang kulit yang berdekatan dengan elegant vital seperti mata.

Selama perkembangan LSD pada manusia, benjolan kulit menyebar ke seluruh tubuh. Lesi atau luka kulit yang disertai rasa sakit dan edema parah yang terdapat pada bagian terkena menjadi ciri penyakit ini pada manusia. Suhu tubuh meningkat, timbul demam mencapai 38,5 - 38,9oC. Demam berulang terjadi saat muncul benjolan baru dan selama pertumbuhan benjolan tersebut. Edema dan pembengkakan kelenjar getah bening dekat bagian tubuh yang terdapat benjolan kulit. Bentuk peradangan kulit tampaknya bervariasi pada setiap penderita, namun terdapat benjolan pada semua kasus peradangan pada sekitar kemaluan.

Pada peternak dan petugas rumah potong hewan yang terinfeksi, benjolan kulit sebagian besar pertama kali terlihat pada bagian tubuh yang kontak dengan bahan yang terinfeksi, kemudian menyebar ke bagian tubuh lain. Namun, beberapa benjolan berkembang pertama kali pada kulit leher kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Setelah demam, tiba-tiba timbul peradangan kulit yang menyakitkan, benjolan keras muncul di tempat tertentu dan spesifik seperti tangan, kaki, wajah, leher, kemaluan, dan sekitar anus.

Metoda penelitiannya dimulai dari pengambilan sampel darah dan jaringan benjolan kulit dari orang yang terinfeksi. Kemudian dilakukan isolasi virus LSD pada biakan sel BHK-21 dan membran korioalantoik telur ayam berembrio. Lalu dilanjutkan identifikasi virus tersebut dengan pemeriksaan mikroskopis elektron langsung dengan pewarnaan negatif dan uji Polymerase Change Reaction (PCR) konvensional dan sekuensing bagian gen ORF103.

Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa virus LSD manusia berhasil diisolasi dari sampel darah dan benjolan kulit yang berasal dari orang yang terinfeksi virus LSD. Peneliti Samia Ahmed Kamal melaporkan hasil uji PCR konvensional yang dilanjutkan sekuensing bagian gen ORF103 menunjukan bahwa virus isolat tersebut secara genetik teridentifikasi seperti isolat virus LSD Evros/GR/15 dengan identitas 99%. Ketika dilakukan visualisasi menggunakan mikroskop elektron terlihat mayoritas virus LSD tidak berselubung dengan menunjukkan bentuk Mulberry dan beberapa bentuk kapsul dan bentuk berselubung.

Patogenesis LSD pada manusia relatif mirip dengan LSD pada sapi namun perkembangan penyakit dan stadium penyakit pada manusia tergantung pada besarnya intervensi perawatan kesehatan. Pada penelitian tersebut, orang yang terinfeksi dapat ditemukan di setiap wilayah di mana terdapat hewan yang terinfeksi sehingga infeksi manusia bersifat sporadis dan dapat diamati di seluruh wilayah tersebut.

Dalam penelitiannya telah diamati terjadinya infeksi virus herpes dan virus LSD manusia secara bersamaan. Infeksi virus herpes merupakan faktor yang membantu timbulnya penyakit virus LSD. Adanya virus yang menyebabkan kerusakan kulit dan berkembang biak dalam sel yang sama menunjukkan integrasi virus-virus tersebut. Bisa terjadi pertukaran elemen penting selama reproduksinya. Temuan ini menunjukkan terdapat hubungan erat antara virus herpes dan LSD; keduanya adalah virus DNA dan memiliki tempat predileksi epitel. Dapat dipostulasikan bahwa LSD dapat menimbulkan efek besar dengan adanya koinfeksi virus herpes.

Temuan ini dapat berguna dalam upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit LSD pada manusia dan hewan, karena pengobatan infeksi virus herpes dengan obat antivirus atau desinfektan alami yang mampu membunuh virus herpes dan menghentikan perkembangan lesi kulit LSD. Temuan ini sesuai dengan efek prognostik yang cepat dan berhasil setelah aplikasi krim asam askorbat pada lesi kulit orang yang terinfeksi virus LSD.

Maka dari itu diperlukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap peran yang tepat dari virus herpes dalam patogenesis virus LSD mengingat virus herpes di alam ada di mana-mana, yang menyebabkan berbagai macam penyakit.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) sampai saat ini belum menyatakan LSD sebagai penyakit zoonosis. Namun demikian OIE melalui Komisi Ilmiah OIE untuk Penyakit Hewan (SCAD) perlu segera melakukan kajian ilmiah tindak lanjut temuan di atas untuk menetetapkan apakah benar LSD sebagai penyakit Zoonosis. Mengingat Komisi Ilmiah OIE tersebut mendapat tugas untuk memberikan bimbingan ilmiah kepada OIE tentang pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan penilaian dan pengendalian penyakit, terutama yang berpotensi mempengaruhi perdagangan hewan darat dan produknya atau mempengaruhi kesehatan manusia.

Apabila LSD dinyatakan sebagai penyakit zoonosis maka harus dilakukan tindakan pencegahan penularan dari hewan ke manusia untuk mencegah terjadinya penyebaran yang lebih luas. Namun sebaliknya apabila diperoleh hasil bahwa LSD bukan penyakit zoonosis, hal ini akan bermanfaatkan menenangkan peternak yang memiliki ternak terserang LSD dan juga menentramkan konsumen daging ternak sapi dan kerbau.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah melakukan langkah-langkah pengendalian LSD. Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Surat Edaran kewaspadaan penyakit LSD kepada para pemangku kepentingan di seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan hewan telah melakukan berbagai langkah pengamanan untuk mencegah penyebaran LSD. Strategi utama pengendalian LSD meliputi vaksinasi, deteksi dini dan penelusuran kasus, pengendalian lalu lintas hewan ternak rentan dan produknya, pengendalian vektor, serta komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Untuk bisa mendeteksi penyakit dengan cepat telah diterapkan sistem pelaporan real-time iSIKHNAS dan peningkatan kemampuan laboratorium kesehatan hewan yang baik, sehingga penyakit dapat dikonfirmasi dengan segera.

Pejabat Otoritas Veteriner Nasional Indonesia telah menegaskan bahwa LSD tidak menular ke manusia dan tidak berbahaya bagi manusia. Pejabat Otoritas Veteriner juga menghimbau agar masyarakat tidak perlu panik, namun terus mendukung berbagai upaya penanganan pengendalian LSD yang dilakukan oleh pemerintah.

Welcome to the TRENDING NEWS TODAY Blog.

Now you are being an article with the title Apakah Lumpy Skin Disease Bersifat Zoonosis ?.

Hopefully this article will be useful for us.

Please share if you find this article has beneficial.


Source: Click here


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama